home

Sabtu, 05 Juni 2010

ORMAS=...(?)

Menghirup udara reformasi, dimana negara memberi kebebasan berargumen dan menyuarakan aspirasinya, banyak bermunculan organisasi masyarakat yang semakin lantang menyuarakan apa yang dinilai mereka benar. Bahkan asal bunyi. Pertumbuhan ormas memang sangat pesat pascajatuhnya Orde Baru. Selama tahun 2000-2006, lebih dari 1.200 organisasi profesi, organisasi keagamaan, maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendaftarkan diri ke Depdagri. Selain itu, banyak ormas yang tidak mendaftarkan diri ke Depdagri, lembaga yang pada masa Orde Baru menjadi alat kontrol utama kehidupan keormasan.

Kebebasan berorganisasi menjadi salah satu fenomena yang dramatis yang muncul bersamaan dengan bergulirnya gerakan reformasi 1998. Ormas mudah terbentuk, semudah ia menghilang. Setelah Soeharto jatuh, negara tak lagi mengatur kebebasan berorganisasi. Meskipun UU No 8/1985 belum dicabut, hingga kini pemerintah sepertinya kurang memiliki kekuatan untuk kembali melaksanakannya. Tiadanya pengaturan lain tentang keormasan menjadikan ormas dapat tumbuh subur dan melakukan aksi-aksinya secara bebas, bahhan ekstra bebas. Kekuatan massa menjadi kekuatan politik, bahkan kini politik identik dengan kekuatan massa.

Banyak kelompok sosial dan ormas yang berkembang menjadi kelompok penekan (pressure group) dan bermain dalam politik umum, kebijakan publik maupun sekedar memenuhi selera individual anggota ormas.

Demokratisasi di tengah melemahnya pemerintah, DPR yang belum aspiratif, dan penegakan hukum yang masih pandang bulu; menyuburkan iklim ormas menjadi sebuah organisasi extra government. Anggotanya cenderung merasa “superman”. Dalam situasi ini, ormas beserta kekuatan-kekuatan masyarakat lainnya menjadi terlihat lebih dominan menguasai wacana publik daripada entitas negara.

Bilamana sebuah ormas terorganisir melalui kepemimpinan yang visoner dan nasionalisme yang baik, yang mendahulukan kepentingan umum di atas kepetingan pribadi atau anggotanya, ormas ini bisa memberikan sumbangsih yang memajukan bangsa. Tetapi bilamana sebuah ormas terorganisasi sebagai alat penekan untuk menggolkan kepentingan subjektif personil atau pimpinannya, maka kita telah melangkah mundur sebagai bangsa. Apalagi, bila anggota ormas, atas nama organisasi, secara perorangan atau kelompok kecil melakukan penekanan untuk memuaskan dirinya sendiri atau memaksakan seleranya, maka kita sudah kembali ke zaman bar-bar, zaman primitif!

Tegasnya, sepanjang organisasi masyarakat tersebut berjalan tidak melenceng dan tidak keluar dari batasan-batasan, baik etika maupun yuridis, maka keberadaan mereka sangatlah membantu dan mampu mewakili keinginan sebagian masyarakat. Tetapi jika ormas bertindak seolah menjurus kepada anakhisme atau premanisme, dalam segala bentuk dan skala aktivitasnya, dan pemerintah seperti diam saja, maka masyarakat seperti tidak terlindungi (tidak merdeka) di negaranya sendiri yang merdeka.

Beberapa bulan yang lalu, Presiden SBY mengatakan akan memberikan hukuman atau sanksi kepada ormas atau siapa pun yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Presiden akan menggunakan per-undang-undangan yang berlaku untuk menindak ormas-ormas yang anarkistis. Memang, berdasarkan undang-undang, organisasi massa bisa dibubarkan atau dibekukan jika memenuhi beberapa kriteria. Sejauh ini, pemerintah baru melakukan langkah wajib registrasi ulang ormas-ormas yang ada. Pelaksanaan belum sebesar gaungnya.

Kiranya UU No 8/1985 yang mengatur keormasan, terasa sudah kurang berimbang dengan makin beragamnya jenis dan kegiatan ormas saat ini, termasuk sejumlah tingkah polahnya. Kita memerlukan perundang-undangan yang lebih detail dan aktual.Walau memang, dalam kerangka hukum yang ada saat ini pun, Polisi dianggap belum menunjukkan langkah-langkah yang melegakan masyarakat. Mereka dianggap tidak tegas dalam menegakkan supremasi hukum atas premanisme.

Kiranya, di negara hukum seperti negeri ini, hukum dapat memayungi semua warga negara melalui perundang-undangan yang memadai, serta ditegakkan aparat negara. Sehingga tidak seorang warga negara pun memiliki kekuasaan lebih besar (super) dibanding/terhadap warga negara lainnya, sekali pun ia anggota ormas atau Presiden sekali pun. (14 Agustus 2006)
Bernard Simamora, pemerhati masalah sosial, tinggal di Bandung. E_mail: bernard@pelitanews.com Alamat surel ini dilindungi dari robot spam. Anda perlu mengaktifkan JavaScript untuk melihatnya

Tidak ada komentar: