http://arsip.gatra.com/2005-06-16/artikel.php?id=85402
API
amarah nyaris terpantik di siang hari yang panas. Wajah-wajah tegang
dan teriak-teriakan penentangan terus berhamburan dari mulut ratusan
pemuda yang kalap. Sepasukan polisi tak mau kalah. Mereka terus minta
para pemuda itu angkat kaki. Namun, semakin deras desakan itu meluncur,
semakin sengit pula perlawanan menggumpal. Sampai akhirnya polisi
memilih undur diri. Bentrokan fisik pun terhindari.
Operasi pengusiran yang dilakukan personel Kepolisian Resor Jakarta
Barat, dibantu tiga kompi pasukan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Metro
Jaya, pada Senin pekan lalu itu pun kandas. Para pemuda tetap bercokol
di areal tanah sengketa seluas 5.500 meter persegi, di Perumahan Permata
Buana Blok L4, Kelurahan Kembangan Utara, Kecamatan Kembangan, Jakarta
Barat.
Keberadaan para penjaga lahan itu memang sudah pada tahap mencemaskan.
Apalagi, sepekan sebelumnya, tepatnya Ahad 29 Mei, di lahan yang kini
berdiri rumah toko itu terjadi peristiwa berdarah. Para pemuda itu
terlibat bentrokan dengan kelompok massa yang mengaku dari Persatuan
Pendekar Banten. Juhari, 44 tahun, dari kelompok Pendekar Banten, tewas
dengan badan penuh bacokan. Sembilan orang lainnya luka-luka, dan 13
mobil rusak.
Perang jawara bisa saja kembali meletus. Pasalnya, sehari setelah
kejadian, api dendam dikobarkan oleh kubu Pendekar Banten dari sarangnya
di kota Serang, Banten. "Kami akan melakukan perhitungan,'' kata Mamas,
juru bicara Pendekar Banten. Mereka menyebut nama sebuah kelompok yang
dituding bertanggung jawab atas kematian rekannya itu.
Menurut Kepala Kepolisian Resor Jakarta Barat, Komisaris Besar I Ketut
Untung Yoga Ana, bentrokan antarkelompok massa itu dipicu oleh masalah
ganti rugi tanah. "Mereka tidak patuh pada hukum dan mencari jalan lain
dengan memanfaatkan kelompok-kelompok tertentu," ujar Ketut.
Perselisihan masalah tanah itu terjadi antara Jimmi Wijaya, pemilik
perumahan, dan Aminah binti Amin, pemilik tanah.
Apa yang terjadi di Perumahan Permata Buana itu tampaknya hanya buntut
tren pemakaian jasa pengamanan oleh pihak-pihak yang berselisih. Ibarat
hukum pasar, semakin marak sengketa tanah di Jakarta yang tak henti
bergeliat, semakin subur pula usaha jasa pengamanan tumbuh. Uniknya,
mereka terbentuk berdasarkan kelompok-kelompok etnik.
Kelompok Jhon Kei, misalnya, merupakan himpunan para pemuda Ambon asal
Pulau Kei, Maluku Tenggara. Terbentuk pasca-kerusuhan di Tual, Pulau
Kei, pada Mei 2000, dengan nama resmi Angkatan Muda Kei (Amkei). Jhon
Kei, pentolan Amkei, mengklaim punya anggota sampai 12.000 orang.
Lewat organisasi itu, Jhon mulai mengelola bisnisnya secara profesional sebagai debt collector.
Banyak yang menyebut kelompok ini menjadi salah satu penguasa wilayah
Jakarta Pusat. Namun Jhon membantahnya. ''Kami bukan untuk menguasai
wilayah tertentu,'' katanya.
Sebagai pimpinan, kata Jhon, ia hanya mengorganisasi dan mencari job penagihan utang secara halal. "Kami tiap hari bisa dapat order. Tapi kami selektif. Kalau menguntungkan, kami jalan. Kalau nggak, ya, ditolak," tutur Jhon. Penghasilan dari dunia tagih-menagih ini lebih dari lumayan. Jhon tak mau menyebut berapa besarannya.
Tapi Jhon mengatakan, fee jasa penagihan yang diterima beragam, tergantung besaran dan tingkat kesulitannya. "Ya, 10% sampai 50%-lah,'' katanya kepada Gatra. Dengan fee
sebesar itu, jangan heran jika omset yang didapat setiap bulan bisa
mencapai milyaran rupiah. Penghasilan itu tentu belum termasuk uang jasa
bila ada order menjaga lahan.
Bisnis "basah" ini bukan tanpa risiko. Selain harus berani adu nyali,
taruhannya cukup besar: nyawa! Di lapangan, gesekan dengan kelompok lain
kerap terjadi. Satu di antaranya bentrokan dengan kelompok Basri
Sangaji, tokoh pemuda asal Ambon lainnya yang dipetakan menguasai
wilayah Jakarta Selatan. Pada penyerangan yang brutal di kamar 301
sebuah hotel di bilangan Kebayoran pada 12 Oktober 2004 itu, Basri
tewas.
Setelah peristiwa pembunuhan itu, kelompok Basri bak tiarap. Hingga
kini, kelompok yang pernah dipercaya oleh terpidana kasus pembobol Bank
BNI, Adrian Waworunto, menarik aset-asetnya itu belum juga memiliki
pemimpin baru. Menurut kabar, Jamal Sangaji, adik sepupu Basri yang
jari-jari tangannya tertebas senjata tajam dalam peristiwa pembunuhan
Basri, adalah salah satu kandidat terkuat meneruskan tampuk pimpinan.
Sayang, ketika Gatra menghubungi Jamal di kediaman almarhum Basri
di kawasan Jalan Bangka, yang bersangkutan tak ada di tempat. Selain
kelompok Jhon Kei dan Basri Sangaji, dunia bisnis jasa pengamanan pun
masih mengenal kelompok pemuda asal Ambon lainnya yang cukup populer.
Sebut saja kelompok Ongen Sangaji di Jakarta Timur, Manaf di Jakarta
Utara, serta Amir Latu di Jakarta Barat dan Tangerang.
Orang Betawi sendiri, sebagai tuan rumah, tak ketinggalan menghimpun
diri dalam beberapa kelompok. Ada yang lewat Forum Betawi Rempug (FBR),
Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi), dan Ikatan Keluarga Besar Tanah
Abang (IKBT). Organisasi terakhir yang lahir tahun 1993 naik daun
setelah mundurnya Hercules dari kawasan Tanah Abang pada 1996. Sekaligus
mencuatkan pucuk pimpinan IKBT, Muhamad Yusuf Muhii alias Bang Ucu, ke
permukaan.
Bank Ucu lebih senang kalau kiprah IKBT disebut sebagai kegiatan sosial. "Kite kerjain demi yang hak dan bener,
bukan demi yang bayar," katanya dengan logat Betawi yang kental. Dalam
hal menduduki tanah kosong, Bang Ucu mengambil contoh, penguasaannya
harus didukung putusan legal dari pengadilan atau Mahkamah Agung. Selain
itu, IKBT juga membuka jasa pengamanan dan pengerahan massa demonstran.
Menurut klaimnya, IKBT punya anggota puluhan ribu orang.
Adapun Pendekar Banten yang terlibat bentrok di Perumahan Permata Buana
merupakan bagian dari Persatuan Pendekar Persilatan Seni Budaya Banten
Indonesia (PPPSBBI). Markas dan wilayah kerja mereka sebetulnya di
Serang dan areal Provinsi Banten.
Kepergian sebagian pendekar Banten itu ke Jakarta ternyata di luar
pengetahuan induk organisasinya. Mereka pun sama sekali belum mengenal
seluk-beluk Ibu Kota. ''Wajar saja bila kacau-balau,'' kata Haji
Mudarif, Koordinator Daerah PPPSBBI Serang.
PPPSBBI didirikan 35 tahun silam oleh para pendekar dari berbagai
padepokan persilatan di wilayah Banten. Dalam kiprahnya, organisasi ini
kerap mendapat tugas mengamankan sebuah pasar, terutama jika ada
keributan. Pernah pula, kata Haji Mudarif, para pendekar Banten menjadi
kelompok yang mengamankan aksi-aksi demonstrasi yang terjadi di Banten.
"Kalau aksi itu sampai berbuat anarkis, itu baru kami tindak," katanya.
Kelompok jawara Banten yang mengepakkan sayapnya hingga Jakarta justru
Badan Pembinaan Potensi Keluarga Besar Banten (BPPKB). Pada 6 Juli 1998,
pasca-keramaian Pam Swakarsa, kelompok pimpinan Haji Noer Indradjaja,
SH, ini mendeklarasikan diri sebagai ormas multietnis di Menteng,
Jakarta. "Di luar etnis Banten, ada 30 etnis dari seluruh agama," ujar
Indradjaja, yang lahir pada 5 Oktober 1956.
Misi BPPKB cukup mulia: mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan
mengurangi pengangguran. Caranya, setiap anggota BPPKB yang menganggur
diberi pekerjaan di perusahaan-perusahaan. Karena sebagian besar dari
golongan ekonomi lemah, mereka kebanyakan menjadi tenaga satuan
pengamanan. "Sebagian anggota saya kemampuannya baru di sini saja," kata
Indradjaja.
Selain itu, ada pula yang mencari nafkah di terminal-terminal Jakarta.
Mulai yang jadi sopir, calo, kuli panggul, pedagang, hingga sekuriti
pasar. BPPKB juga menempatkan anggotanya yang nganggur untuk
menjadi tenaga pengaman pada sejumlah aksi dan lahan yang
dipersengketakan. Besarnya upah disesuaikan dengan luasnya lahan, siapa
pemiliknya, dan siapa lawan yang akan mengganggunya.
Semakin lawan itu kuat, kata Indradjaja, semakin besar pula biaya
pengamanannya. Kisaran nominal upahnya, menurut dia, bisa mencapai
milyaran rupiah. Dalam lahan sengketa itu, jasa upah biasanya melalui
perjanjian antara pemilik tanah dan BPPKB. Lamanya waktu bisa sampai
berbulan-bulan, tergantung kebutuhan si pemilik tanah.
Di lapangan, benturan dengan kelompok lain kerap tak terelakkan. "Sudah
sering kami bergesekan dengan ormas-ormas lain," ujar Indradjaja. Latar
belakang itu biasanya diakibatkan oleh klaim kewilayahan. Namun,
akhir-akhir ini, klaim wilayah sudah bergeser pada pesanan (order).
Gesekan itu, kata Indradjaja, misalnya terjadi beberapa bulan lalu di
Sunter dengan ormas FBR. Lalu dengan kelompok Hercules di bilangan Jalan
Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Namun, sejauh ini, konflik itu
bisa diselesaikan dengan baik.
Jasa pengamanan juga diramaikan oleh kelompok dari etnik Madura. Satu di
antaranya, kelompok yang dipimpin Hamid. Laki-laki berkumis melintang
ini mengklaim punya anak buah sampai 1.000 orang. Tidak hanya bisnis
jasa pengamanan. Hamid juga menawarkan jasa penagihan utang. Untuk
sekali order, upahnya 30% dari total jumlah utang yang ditagih.
Dibayarkan bila tagihan sukses. Kalau gagal, ya, tidak dibayar. "Nggak apa-apa nggak dapet, itu risiko," katanya.
Di luar bisnis jasa penagihan, Hamid juga buka usaha pengamanan aset.
Utamanya yang berwujud tanah kosong. Untuk yang satu ini, biasanya
mereka berafiliasi dengan pengacara. Jangan kaget kalau ada kasus tanah
bisa mendatangkan massa cukup besar. Satu hari mereka dibayar Rp 100.000
per kepala. "Bosnya tentu lebih tinggi dapatnya," tutur Hamid. Untuk
menjaga tanah kosong, biasanya ditempatkan 10 sampai 20 orang.
Hamid pun membuka usaha sampingan, yakni bisnis demonstrasi. Tarif jasa
ini lebih murah. Untuk order demonstran, cukup merogoh kocek Rp 50.000
per orang dan menyediakan nasi bungkus. Murahnya biaya ini karena memang
untuk demo paling lama memakan waktu tiga jam.
1 komentar:
Okelah Bapak2 Preman, ane disini cuman ingetin aja kali2 aja mau dicoba. Kan kalo urusan di lapangan bolehlah Bapak2 Preman hebat nan perkasa, tapi apa ia giliran sama Istri..? ayo jujur... ga usah malu ia..hehe. Cekidot list dibawah ini ia :
viagra original
obat viagra
harga viagra
obat kuat cialis
obat pembesar penis
obat pembesar penis
Posting Komentar