home

Senin, 20 Februari 2012

Basri Sangaji "Pendekar" Pulau Haruku, Maluku tengah

  

Liputan6.com, Jakarta: Subuh hampir menjelang di Hotel Kebayoran Inn di Jalan Senayan Nomor 87, Jakarta Selatan, pada Selasa pekan silam. Bersamaan dengan semilir angin malam yang masih terasa, belasan pemuda merangsek ke hotel bertarif Rp 200 ribu hingga Rp 1 juta sehari itu. Tanpa bisa dicegah, mereka yang bermuka bengis itu langsung menuju kamar 301. Basri Sangaji yang dicari. Kejadian berlangsung cepat, tak lebih dari 15 menit. Gaduh sebentar, sekelompok pemuda itu yang berwajah bengis dan dingin itu kemudian keluar. Tak ada yang berani mendekat. Sampai di parkiran, mereka sempat merusak kendaraan Basri. Setelah puas, mereka pun raib bak ditelan kabut subuh.

Petugas hotel baru berani memastikan keadaan setelah gerombolan orang itu pergi. Mereka bergegas menuju kamar 301. Benar saja, sang tamu hotel sudah bersimbah darah. Basri mati di sofa dengan lubang di dada. Adiknya, Ali Sangaji yang berusia 30 tahun merintih. Tangannya nyaris putus, selangkangannya pun terus mengucurkan darah. Kondisi seorang kerabat Basri tak jauh beda. Anyir darah begitu terasa. Jamal Sangaji, 33 tahun, mengerang sambil memegangi tangan kanannya yang sudah tak berjari.

Setelah diotopsi di Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre (MMC), Jaksel, Basri disemayamkan di rumah keluarganya di bilangan Pulomas, Jakarta Timur. Ribuan pelayat pun membanjiri rumah duka. Esok petangnya, Jenazah orang yang dekat dengan calon presiden Wiranto itu kemudian diterbangkan ke Ambon, Maluku.

Jasad Basri kemudian dibawa ke kampung halamannya, Desa Rohomoni, Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Keheningan malam pun pecah ketika jenazah Basri datang dan disambut dengan teriakan histeris masyarakat Rohomoni. Malam itu, ratusan warga tumpah-ruah di pinggir pantai Pulau Haruku. Mereka menyambut jenazah Basri dengan kesedihan mendalam. Kematian putra pertama dari pahlawan nasional A.M. Sangaji yang disegani di daerah itu memang membuat warga Maluku berduka.

Tak pelak, kedatangan jasad Basri sempat membuat Negeri Seribu Pulau menjadi panas. Kabar burung pun merebak. Entah siapa yang mengembuskan, anak buah Basri yang sebagian besar "pensiunan" konflik Maluku dikabarkan bakal membalas dendam. Untungnya, polisi cepat tanggap membaca gelagat itu. Kepala Kepolisian Resor Ambon Komisaris Besar Polisi Leonidas Braskan langsung memimpin pengawalan bersama aparat dari TNI dan Polri mulai dari Bandar Udara Pattimura hingga ke kampung halamannya [baca: Jenazah Basri Sangaji Tiba di Ambon].

Pengawalan ketat itu memang wajar. Maklumlah, polisi berupaya keras mengantisipasi terulangnya rentetan peristiwa berdarah yang menelan 1.842 jiwa akibat konflik antaragama di Maluku. Apalagi kerusuhan yang terjadi pada 1998-1999 itu juga diawali bentrokan antarpemuda [baca: Mimpi Buruk Bernama Darurat Sipil]. Tak heran jika aparat yang diturunkan tak sekadar mengawal jenazah. Mereka dibekali dengan senapan. Bahkan jasad Basri pun dibawa dengan mobil militer. Untuk mendinginkan suasana, sejumlah tokoh Maluku juga ikut mengantarkan Basri ke peristirahatan terakhirnya. Di antara pelayat, tampak mantan Gubernur Maluku Saleh Latuconsina. "Kita berharap ini adalah cobaan bagi kita semua, dan almarhum dapat diterima di sisi-Nya," kata Latuconsina [baca: Basri Sangaji Dimakamkan].

Untuk mengantisipasi kerusuhan, polisi juga cepat tanggap dengan kondisi yang kian panas. Meski sejumlah spekulasi seputar kematian Basri masih menimbulkan banyak pertanyaan, polisi bertindak cepat. Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Mathius Salempang yang memimpin penyidikan telah menangkap delapan tersangka [baca: Delapan Tersangka Pembunuh Basri Sangaji Ditangkap]. Mathius juga menetapkan bahwa kasus pembunuhan Basri, murni kriminal [baca: Pembunuh Basri Sangaji Bermotifkan Dendam]. Tersiar kabar, jika pembunuhan Basri berlatar belakang perebutan daerah kekuasaan di Mangga Besar, Jakarta Barat.

Pria bernama lengkap Basri Jala Sangaji adalah pribadi yang penuh warna. Pria berumur 35 tahun itu tak hanya terkenal dalam dunia preman yang keras. Basri juga dikenal dekat dengan sejumlah tokoh, mulai dari pejabat, ulama, hingga dunia hiburan malam. Di mata Ketua Umum Front Pembela Islam Habib Rizieq Shihab, almarhum adalah anak nakal yang manis. Sebutan itu tak lepas dari niat Basri yang ingin mendalami ajaran Islam kepada Rizieq.

Basri Sangaji memang dikenal dekat dengan berbagai kalangan. Tak hanya bermain di dunia keras dan hiburan malam, warga Jalan Pangkal Raya Nomor 3, Pela Mampang, Jaksel itu juga terjun ke dalam kancah politik. Sepak terjangnya di dunia politik dimulai sejak terlibat dalam terbentuknya pengamanan swakarsa (Pam Swakarsa) pada 1998. Terakhir, dia juga aktif menjadi anggota tim sukses calon presiden dari Partai Golongan Karya, Wiranto dan Salahuddin Wahid pada pemilihan presiden putaran pertama, Juli silam.

Nama Basri Sangaji juga pernah menghiasi media massa nasional pada pertengahan 2002 ketika terlibat konflik dengan kelompok John Key. Selain itu, Basri juga diduga terlibat dalam kerusuhan di Ketapang, Jakarta Pusat, akhir November 1998. Tetapi keterlibatan Basri di Ketapang dibantah oleh Habib Rizieq.

Menelisik masa silam Basri Sangaji ibarat membuka lembaran album foto kerasnya dunia preman. Dia diduga kuat banyak bersinggungan dengan dunia hitam. Tak heran jika Basri ditengarai memiliki banyak musuh. Salah satunya adalah John Key, salah seorang pimpinan geng yang pernah berseteru dengannya [baca: Kepolisian Tak Terpengaruh Desakan Kelompok Hercules dan Basri]. John Key mengakui delapan tersangka pembunuh Basri adalah anak buahnya. Dia juga mengaku dendam pada Basri yang dituduhnya telah membunuh saudaranya, lima tahun silam. Namun Basri lolos dari jeratan hukum karena saat itu diduga berhubungan dekat dengan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Mayor Jenderal Polisi Noegroho Djajoesman.

Selain dengan John Key, Basri juga pernah bentrok dengan kelompok penguasa Tanahabang, Jakpus, pimpinan Hercules. Hercules juga menyatakan, Basri Sangaji mempunyai banyak musuh, dan ia adalah salah satunya. Dia mengaku pernah berteman baik dengan korban, namun masalah bisnis penagihan utang telah memisahkan persahabatan mereka.

Entah karena hati-hati atau karena sebab lain, yang pasti hingga kini polisi tidak menangkap John Key. Padahal, keluarga Basri berkeras meminta polisi membekuk John Key. Salah satu keluarga yang menuding John Key sebagai otak pembunuh Basri adalah Basri Moni, paman korban. Apalagi keponakannya itu pernah terlibat konflik dengan John Key di Diskotek Hailai, Ancol, Jakarta Utara dan Diskotek Stadium di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Barat pada 2002 [baca: Diskotek Stadium Diserang, Dua Orang Tewas].

Anton Medan yang telah lama pensiun dari dunia preman pun angkat bicara. Menurut dia, pembunuhan Basri memang berlatar dendam. Pelaku diperkirakan putus asa karena pengaduannya ke polisi tidak pernah digubris. Tak heran jika kemudian si pelaku "membereskan" sendiri masalah tersebut. "Dilaporkan ke polisi beberapa kali, hingga masa pembunuhan [karena] tidak ditanggapi," kata Anton di Studio Liputan 6 SCTV, Jakarta, malam tadi.

Lebih lanjut Anton menjelaskan, buntunya pengungkapan pelaku pembunuhan Basri karena kasus ini melibatkan konspirasi tingkat tinggi. Menurut Anton, pelaku diperkirakan mempunyai backing yang cukup kuat sehingga polisi tidak berkutik. Pelindung si pelaku diperkirakan berasal dari kalangan pejabat. "Sebenarnya yang dipakai itu orang-orang yang punya nama," ungkap Anton.

Di sinilah terungkap bahwa antara preman dan sejumlah pejabat mempunyai hubungan saling menguntungkan. Menurut Anton, pejabat membutuhkan preman untuk mempermudah pekerjaannya. Contohnya, penggusuran tanah. Dengan bantuan "pendekar", bisa dipastikan penggusuran tanah bisa dilakukan. Mereka juga membutuhkan preman ketika kekuasaannya terancam oleh aksi massa. Saat itulah sosok preman dimajukan. Sementara preman membutuhkan pejabat untuk melindunginya dari cengkeraman polisi. Tak mengherankan, bila kasus pembunuhan Basri belum menemui titik terang.

Dalang di balik pembunuhan Basri seharusnya tak sulit untuk dibongkar. Karena peristiwa itu menyimpan dua saksi mata yang turut menjadi korban. Mereka adalah Ali Sangaji dan Jamal Sangaji. Kedua adik korban juga mengaku mengenal kelompok yang menyerbu mereka. Selain itu, sejumlah barang bukti juga ditemukan di lokasi kejadian. Kuat dugaan saat kejadian, paling tidak ada dua senjata api yang menyalak. Salah satunya pistol berizin dengan peluru karet milik korban. Sedangkan satunya berasal dari bukti selongsong dan satu butir peluru kaliber sembilan milimeter.

Nah, untuk mengurai benang kusut itu, Anton menyarankan kepada polisi untuk lebih berani. Menurut Anton, premanisme memang tidak bisa dihapuskan. Namun bukan berarti tidak bisa dikurangi. "Sekarang tinggal bagaimana aparat, mencari hukum yang tepat untuk menjerat mereka (pelaku)," kata Anton.

Kriminolog dari Universitas Indonesia Adrianus Meliala membenarkan pernyataan Anton. Menurut dia, hubungan simbiosis antara preman dan pejabat telah terjadi sejak lama. Preman membutuhkan orang "kuat" yang bisa melindunginya dari ancaman preman lain. Biasanya dengan dukungan orang kuat itu timbul sifat arogan preman. Maka dia tak segan-segan melibas kelompok lain yang dianggap bermasalah dengannya. Salah satunya seperti yang terjadi pada kasus Basri. "Jangan-jangan ada transaksi," kata Adrianus.

Adrianus boleh menduga seperti itu. Yang jelas, mata sejumlah pihak kini menoleh ke polisi. Apalagi keterlibatan kelompok preman tampak nyata di balik pembunuhan Basri. Boleh jadi, timbul pula pertanyaan. Maukah dan mampukah polisi menguak kasus itu sampai ke akarnya?(YAN/Tim Sigi SCTV)

Perang Jawara Berebut Lahan,(?)

http://arsip.gatra.com/2005-06-16/artikel.php?id=85402


Bang Ucu (GATRA/Tatan Agus RST.)API amarah nyaris terpantik di siang hari yang panas. Wajah-wajah tegang dan teriak-teriakan penentangan terus berhamburan dari mulut ratusan pemuda yang kalap. Sepasukan polisi tak mau kalah. Mereka terus minta para pemuda itu angkat kaki. Namun, semakin deras desakan itu meluncur, semakin sengit pula perlawanan menggumpal. Sampai akhirnya polisi memilih undur diri. Bentrokan fisik pun terhindari.

Operasi pengusiran yang dilakukan personel Kepolisian Resor Jakarta Barat, dibantu tiga kompi pasukan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Metro Jaya, pada Senin pekan lalu itu pun kandas. Para pemuda tetap bercokol di areal tanah sengketa seluas 5.500 meter persegi, di Perumahan Permata Buana Blok L4, Kelurahan Kembangan Utara, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat.

Keberadaan para penjaga lahan itu memang sudah pada tahap mencemaskan. Apalagi, sepekan sebelumnya, tepatnya Ahad 29 Mei, di lahan yang kini berdiri rumah toko itu terjadi peristiwa berdarah. Para pemuda itu terlibat bentrokan dengan kelompok massa yang mengaku dari Persatuan Pendekar Banten. Juhari, 44 tahun, dari kelompok Pendekar Banten, tewas dengan badan penuh bacokan. Sembilan orang lainnya luka-luka, dan 13 mobil rusak.

Perang jawara bisa saja kembali meletus. Pasalnya, sehari setelah kejadian, api dendam dikobarkan oleh kubu Pendekar Banten dari sarangnya di kota Serang, Banten. "Kami akan melakukan perhitungan,'' kata Mamas, juru bicara Pendekar Banten. Mereka menyebut nama sebuah kelompok yang dituding bertanggung jawab atas kematian rekannya itu.

Menurut Kepala Kepolisian Resor Jakarta Barat, Komisaris Besar I Ketut Untung Yoga Ana, bentrokan antarkelompok massa itu dipicu oleh masalah ganti rugi tanah. "Mereka tidak patuh pada hukum dan mencari jalan lain dengan memanfaatkan kelompok-kelompok tertentu," ujar Ketut. Perselisihan masalah tanah itu terjadi antara Jimmi Wijaya, pemilik perumahan, dan Aminah binti Amin, pemilik tanah.

Apa yang terjadi di Perumahan Permata Buana itu tampaknya hanya buntut tren pemakaian jasa pengamanan oleh pihak-pihak yang berselisih. Ibarat hukum pasar, semakin marak sengketa tanah di Jakarta yang tak henti bergeliat, semakin subur pula usaha jasa pengamanan tumbuh. Uniknya, mereka terbentuk berdasarkan kelompok-kelompok etnik.

Kelompok Jhon Kei, misalnya, merupakan himpunan para pemuda Ambon asal Pulau Kei, Maluku Tenggara. Terbentuk pasca-kerusuhan di Tual, Pulau Kei, pada Mei 2000, dengan nama resmi Angkatan Muda Kei (Amkei). Jhon Kei, pentolan Amkei, mengklaim punya anggota sampai 12.000 orang.

Lewat organisasi itu, Jhon mulai mengelola bisnisnya secara profesional sebagai debt collector. Banyak yang menyebut kelompok ini menjadi salah satu penguasa wilayah Jakarta Pusat. Namun Jhon membantahnya. ''Kami bukan untuk menguasai wilayah tertentu,'' katanya.

Sebagai pimpinan, kata Jhon, ia hanya mengorganisasi dan mencari job penagihan utang secara halal. "Kami tiap hari bisa dapat order. Tapi kami selektif. Kalau menguntungkan, kami jalan. Kalau nggak, ya, ditolak," tutur Jhon. Penghasilan dari dunia tagih-menagih ini lebih dari lumayan. Jhon tak mau menyebut berapa besarannya.

Tapi Jhon mengatakan, fee jasa penagihan yang diterima beragam, tergantung besaran dan tingkat kesulitannya. "Ya, 10% sampai 50%-lah,'' katanya kepada Gatra. Dengan fee sebesar itu, jangan heran jika omset yang didapat setiap bulan bisa mencapai milyaran rupiah. Penghasilan itu tentu belum termasuk uang jasa bila ada order menjaga lahan.

Bisnis "basah" ini bukan tanpa risiko. Selain harus berani adu nyali, taruhannya cukup besar: nyawa! Di lapangan, gesekan dengan kelompok lain kerap terjadi. Satu di antaranya bentrokan dengan kelompok Basri Sangaji, tokoh pemuda asal Ambon lainnya yang dipetakan menguasai wilayah Jakarta Selatan. Pada penyerangan yang brutal di kamar 301 sebuah hotel di bilangan Kebayoran pada 12 Oktober 2004 itu, Basri tewas.

Setelah peristiwa pembunuhan itu, kelompok Basri bak tiarap. Hingga kini, kelompok yang pernah dipercaya oleh terpidana kasus pembobol Bank BNI, Adrian Waworunto, menarik aset-asetnya itu belum juga memiliki pemimpin baru. Menurut kabar, Jamal Sangaji, adik sepupu Basri yang jari-jari tangannya tertebas senjata tajam dalam peristiwa pembunuhan Basri, adalah salah satu kandidat terkuat meneruskan tampuk pimpinan.

Sayang, ketika Gatra menghubungi Jamal di kediaman almarhum Basri di kawasan Jalan Bangka, yang bersangkutan tak ada di tempat. Selain kelompok Jhon Kei dan Basri Sangaji, dunia bisnis jasa pengamanan pun masih mengenal kelompok pemuda asal Ambon lainnya yang cukup populer. Sebut saja kelompok Ongen Sangaji di Jakarta Timur, Manaf di Jakarta Utara, serta Amir Latu di Jakarta Barat dan Tangerang.

Orang Betawi sendiri, sebagai tuan rumah, tak ketinggalan menghimpun diri dalam beberapa kelompok. Ada yang lewat Forum Betawi Rempug (FBR), Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi), dan Ikatan Keluarga Besar Tanah Abang (IKBT). Organisasi terakhir yang lahir tahun 1993 naik daun setelah mundurnya Hercules dari kawasan Tanah Abang pada 1996. Sekaligus mencuatkan pucuk pimpinan IKBT, Muhamad Yusuf Muhii alias Bang Ucu, ke permukaan.

Bank Ucu lebih senang kalau kiprah IKBT disebut sebagai kegiatan sosial. "Kite kerjain demi yang hak dan bener, bukan demi yang bayar," katanya dengan logat Betawi yang kental. Dalam hal menduduki tanah kosong, Bang Ucu mengambil contoh, penguasaannya harus didukung putusan legal dari pengadilan atau Mahkamah Agung. Selain itu, IKBT juga membuka jasa pengamanan dan pengerahan massa demonstran. Menurut klaimnya, IKBT punya anggota puluhan ribu orang.

Adapun Pendekar Banten yang terlibat bentrok di Perumahan Permata Buana merupakan bagian dari Persatuan Pendekar Persilatan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI). Markas dan wilayah kerja mereka sebetulnya di Serang dan areal Provinsi Banten.

Kepergian sebagian pendekar Banten itu ke Jakarta ternyata di luar pengetahuan induk organisasinya. Mereka pun sama sekali belum mengenal seluk-beluk Ibu Kota. ''Wajar saja bila kacau-balau,'' kata Haji Mudarif, Koordinator Daerah PPPSBBI Serang.

PPPSBBI didirikan 35 tahun silam oleh para pendekar dari berbagai padepokan persilatan di wilayah Banten. Dalam kiprahnya, organisasi ini kerap mendapat tugas mengamankan sebuah pasar, terutama jika ada keributan. Pernah pula, kata Haji Mudarif, para pendekar Banten menjadi kelompok yang mengamankan aksi-aksi demonstrasi yang terjadi di Banten. "Kalau aksi itu sampai berbuat anarkis, itu baru kami tindak," katanya.

Kelompok jawara Banten yang mengepakkan sayapnya hingga Jakarta justru Badan Pembinaan Potensi Keluarga Besar Banten (BPPKB). Pada 6 Juli 1998, pasca-keramaian Pam Swakarsa, kelompok pimpinan Haji Noer Indradjaja, SH, ini mendeklarasikan diri sebagai ormas multietnis di Menteng, Jakarta. "Di luar etnis Banten, ada 30 etnis dari seluruh agama," ujar Indradjaja, yang lahir pada 5 Oktober 1956.

Misi BPPKB cukup mulia: mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan mengurangi pengangguran. Caranya, setiap anggota BPPKB yang menganggur diberi pekerjaan di perusahaan-perusahaan. Karena sebagian besar dari golongan ekonomi lemah, mereka kebanyakan menjadi tenaga satuan pengamanan. "Sebagian anggota saya kemampuannya baru di sini saja," kata Indradjaja.

Selain itu, ada pula yang mencari nafkah di terminal-terminal Jakarta. Mulai yang jadi sopir, calo, kuli panggul, pedagang, hingga sekuriti pasar. BPPKB juga menempatkan anggotanya yang nganggur untuk menjadi tenaga pengaman pada sejumlah aksi dan lahan yang dipersengketakan. Besarnya upah disesuaikan dengan luasnya lahan, siapa pemiliknya, dan siapa lawan yang akan mengganggunya.

Semakin lawan itu kuat, kata Indradjaja, semakin besar pula biaya pengamanannya. Kisaran nominal upahnya, menurut dia, bisa mencapai milyaran rupiah. Dalam lahan sengketa itu, jasa upah biasanya melalui perjanjian antara pemilik tanah dan BPPKB. Lamanya waktu bisa sampai berbulan-bulan, tergantung kebutuhan si pemilik tanah.

Di lapangan, benturan dengan kelompok lain kerap tak terelakkan. "Sudah sering kami bergesekan dengan ormas-ormas lain," ujar Indradjaja. Latar belakang itu biasanya diakibatkan oleh klaim kewilayahan. Namun, akhir-akhir ini, klaim wilayah sudah bergeser pada pesanan (order). Gesekan itu, kata Indradjaja, misalnya terjadi beberapa bulan lalu di Sunter dengan ormas FBR. Lalu dengan kelompok Hercules di bilangan Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Namun, sejauh ini, konflik itu bisa diselesaikan dengan baik.

Jasa pengamanan juga diramaikan oleh kelompok dari etnik Madura. Satu di antaranya, kelompok yang dipimpin Hamid. Laki-laki berkumis melintang ini mengklaim punya anak buah sampai 1.000 orang. Tidak hanya bisnis jasa pengamanan. Hamid juga menawarkan jasa penagihan utang. Untuk sekali order, upahnya 30% dari total jumlah utang yang ditagih. Dibayarkan bila tagihan sukses. Kalau gagal, ya, tidak dibayar. "Nggak apa-apa nggak dapet, itu risiko," katanya.

Di luar bisnis jasa penagihan, Hamid juga buka usaha pengamanan aset. Utamanya yang berwujud tanah kosong. Untuk yang satu ini, biasanya mereka berafiliasi dengan pengacara. Jangan kaget kalau ada kasus tanah bisa mendatangkan massa cukup besar. Satu hari mereka dibayar Rp 100.000 per kepala. "Bosnya tentu lebih tinggi dapatnya," tutur Hamid. Untuk menjaga tanah kosong, biasanya ditempatkan 10 sampai 20 orang.

Hamid pun membuka usaha sampingan, yakni bisnis demonstrasi. Tarif jasa ini lebih murah. Untuk order demonstran, cukup merogoh kocek Rp 50.000 per orang dan menyediakan nasi bungkus. Murahnya biaya ini karena memang untuk demo paling lama memakan waktu tiga jam.

Jakarta prominent mass organization and ethnic groups(tulisan teman)

FPI, John Kei dan Grand Design untuk Dunia Per-premanan di Jakarta

OPINI

Kekalahan telak Intermilan dari Bologna membuat saya tidak bisa tidur. Daripada bolak-balik badan tidak jelas, saya mampir saja ke Kompas.com. Berita penangkapan John Kei menyambut kehadiran saya di halaman utama hariann edisi online ini. Terbit rasa ingin tahu di hati: siapa gerangan John Kei ini sampai berita penangkapannya terpampang di halaman depan harian terbesar di Asia Tenggara? Memang, dalam berita itu disebutkan bahwa John Kei adalah ketua himpunan pemuda asal Ambon. Dia ditangkap di salah satu hotel di Pulomas setelah sebutir peluru melukai kakinya. Kok tokoh pemuda ditembak?
Didorong rasa ingin tahu, saya ketik namanya di mesin pencari Google: John Kei. Ada banyak usulan situs yang keluar tetapi dilihat dari judulnya sepertinya tidak ada hubungannya dengan  tokoh yang ditembak polisi itu. Tidak ada rotan akarpun jadi, batin saya. Kalau artikel tidak muncul, klik saja gambarnya. Dan memang, ada beberapa foto wajah yang serupa dengan foto John Kei yang terpampang di Kompas.com. Salah satu foto yang saya pilih menuntun saya untuk memasuki sebuah perbendaharaan informasi tidak saja tentang John Kei tetapi tentang konteksnya yang lebih luas: dunia per-premanan di Jakarta. Ada dua artikel menarik yang ditulis dua orang wartawan Jakarta Post menyangkut dunia bawah tanah Jakarta.
Artikel pertama yang saya baca berjudul: Jakarta prominent mass organization and ethnic groups, yang saya terjemahkan menjadi Ormas-ormas dan Kelompok-kelompok Etnis Penguasa Jakarta… Seperti judulnya, artikel ini memuat profil kelompok-kelompok preman yang berkuasa di Jakarta (http://www.thejakartapost.com/news/2009/08/28/jakarta-prominent-mass-organization-and-ethnic-groups.html). Beberapa kelompok preman sudah pernah saya dengar namanya seperti Pemuda Pancasila dan Forum Betawi Rempug. Tetapi beberapa nama sama sekali baru bagi saya seperti: Laskar Jayakarta, Kelompok Haji Lulung dan kelompok-kelompok anak muda dari Maluku dan Indonesia Timur (dengan tiga pemimpinnya yang terkenal seperti Hercules, Sangaji dan John Kei). Dan saya tidak terkejut bahwa Front Pembela Islam juga digolongkan di jajaran kelompok para preman ini. Bagi saya,  artikel ini seperti sebuah ensiklopedi saku tentang dunia per-premanan di Jakarta. Di sana dapat dibaca tidak saja sejarah setiap kelompok preman tetapi juga bidang usaha dan wilayah kekuasaannya. Salah satu contoh: kelompok Haji Lulung adalah penguasa Tanah Abang. Keamanan dan penanganan sampah di pusat belanja tekstil terbesar di Asia Tenggara ini ditangani oleh kelompok Haji Lulung ini, setelah kelompok ini, atas restu Sutiyoso yang kala itu menjabat Gubernur Jakarta, menggusur Hercules cs . Dari contoh ini dapat ditarik dua butir menarik.
Pertama: dunia per-premanan bukanlah dunia swasta yang lahir secara spontan tetapi sebuah ‘lahan garapan’ para pejabat tinggi pemerintahan (lihat campur tangan Gubenur DKI yang mantan ABRI itu) khususnya POLRI. Beberapa kelompok preman direstui oleh POLRI. Beberapa lagi bahkan sengaja dibidani oleh kesatuan polisi, seperti FPI yang pecahan Pamswakarsa itu (dan pendiri serta pemimpin Laskar Jayakarta adalah mantan pejabat tinggi polisi). Alasan perestuan dan pembentukannya adalah untuk membantu pihak polisi dalam menjaga keamanan sampai tingkat akar rumput. Dalam kenyataannya, yang disebut keamanan adalah kegiatan menarik iuran dari para pengusaha, khususnya pengusaha dunia hiburan.
Kedua: setiap preman punya wilayah kekuasaan dan pelan namun pasti, wilayah Jakarta ini akan dikuasai para preman kelahiran Betawi. Hercules cs yang datang dari Indonesia Timur sudah disingkirkan dan diganti oleh kelompok Haji Lulung yang menampung orang-orang Betawi untuk menguasai Tanah Abang. Laskar Jayakarta, yang menguasai pusat hiburan malam sepanjang jalan Hayam Wuruk, Gajah Mada, Mangga Besar dan pusat bisnis Glodok dimpimpin oleh mereka yang datang dari FBR dan Forkabi (membaca wilayah jajahan Laskar Jayakarta ini, saya tersenyum sendiri karena jadi tahu apa sebab FPI tidak berani menggrebek diskotek dan pusat hiburan malam di bilangan Jakarta Barat ini).
Upaya sistematis untuk membatasi pembagian kue wilayah Jakarta hanya untuk para preman kelahiran Jakarta dijabarkan lebih lanjut dalam artikel kedua dari harian yang sama (http://www.thejakartapost.com/news/2009/08/28/betawi-big-boys-rule-jakarta-underworld.html). Artikel ini dibuka dengan kisah pengakuan kelompok Sangaji atas kedaulatan Haji Lulung. Setelah dunia persilatan Jakarta lama dikuasai kelompok dari Maluku, berhembuslah angin perubahan yang menguntungkan orang-orang kelahiran Jakarta yang bersedia bekerja sebagai preman. Perubahan ini dapat dilacak dari terbunuhnya Basri Sangaji, salah satu pemimpin preman dari Ambon, pada tahun 2004. Diduga kuat, pelakunya adalah saingannya, kelompok John Kei. Perseteruan di antara orang-orang Maluku membuka peluang bagi kehadiran jago-jago Betawi sendiri. Pada tahun yang sama, Laskar Jayakarta mulai menjalari wilayah Jakarta Barat. Berikutnya, tahun 2006, kelompok Hercules diturunkan dari tahta. Dan tahun 2007, mantan Kepala POLRI, Jenderal Adang Daradjatun, memanfaatkan Laskar Jayakarta untuk membantunya memuluskan karir politiknya untuk menjadi Gubernur DKI. Walau sang Jenderal gagal di bursa pemilihan Gubernur, laskar Jayakarta tetap berkibar. Mengapa orang Betawi jadi primadona? Alasan pertama: para pengusaha merasa lebih aman ‘dilindungi’ oleh orang-orang asli Jakarta. Alasan kedua: tampaknya para pejabat tinggi sudah bosan dengan perseteruan antar geng Maluku yang kerap kali berpuncak pada kekerasan yang jauh lebih luas seperti tragedi Ketapang tahun 1998 dan Ambon tahun 1999-2002.
Seusai membaca kedua artikel ini, saya mengelus dada sendiri. Dengan sedih, saya, yang kelahiran Jakarta, melihat bagaimana para pejabat tinggi pemerintahan, yang mengaku diri pengayom masyarakat, membiarkan bahkan menciptakan sendiri kelompok-kelompok milisi semacam itu di tengah masyarakat. Mestinya, penggunaan senjata dan kekerasan demi keamanan masyarakat adalah hak eksklusif POLRI dan ABRI. Demi keuntungan sesaat, mereka ini sudah memecah belah rakyat.

Profil dan Biografi Lengkap Jhon Kei

 Mengenal Jhon Kei atau yang bernama lengkap jhon Refra Kei , tokoh pemuda asal Maluku yang lekat dengan dunia kekerasan di Ibukota. Namanya semakin berkibar ketika tokoh pemuda asal Maluku Utara pula, Basri Sangaji meninggal dalam suatu pembunuhan sadis di hotel Kebayoran Inn di Jakarta Selatan pada 12 Oktober 2004 lalu.
Profil dan Biografi Lengkap John Kei
Padahal dua nama tokoh pemuda itu seperti saling bersaing demi mendapatkan nama lebih besar. Dengan kematian Basri, nama Jhon Key seperti tanpa saingan. Ia bersama kelompoknya seperti momok menakutkan bagi warga di Jakarta.

Untuk diketahui, Jhon Kei merupakan pimpinan dari sebuah himpunan para pemuda Ambon asal Pulau Kei di Maluku Tenggara. Mereka berhimpun pasca-kerusuhan di Tual, Pulau Kei pada Mei 2000 lalu. Nama resmi himpunan pemuda itu Angkatan Muda Kei (AMKEI) dengan Jhon Kei sebagai pimpinan. Ia bahkan mengklaim kalau anggota AMKEI mencapai 12 ribu orang.

Lewat organisasi itu, Jhon mulai mengelola bisnisnya sebagai debt collector alias penagih utang. Usaha jasa penagihan utang semakin laris ketika kelompok penagih utang yang lain, yang ditenggarai pimpinannya adalah Basri Sangaji tewas terbunuh. Para ‘klien’ kelompok Basri Sangaji mengalihkan ordernya ke kelompok Jhon Kei. Aroma menyengat yang timbul di belakang pembunuhan itu adalah persaingan antara dua kelompok penagih utang.

Bahkan pertumpahan darah besar-besaran hampir terjadi tatkala ratusan orang bersenjata parang, panah, pedang, golok, celurit saling berhadapan di Jalan Ampera Jaksel persis di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada awal Maret 2005 lalu. Saat itu sidang pembacaan tuntutan terhadap terdakwa pembunuhan Basri Sangaji. Beruntung 8 SSK Brimob Polda Metro Jaya bersenjata lengkap dapat mencegah terjadinya bentrokan itu.

Sebenarnya pembunuhan terhadap Basri ini bukan tanpa pangkal, konon pembunuhan ini bermula dari bentrokan antara kelompok Basri dan kelompok Jhon Key di sebuah Diskotik Stadium di kawasan Taman Sari Jakarta Barat pada 2 Maret 2004 lalu. Saat itu kelompok Basri mendapat ‘order’ untuk menjaga diskotik itu. Namun mendadak diserbu puluhan anak buah Jhon Kei Dalam aksi penyerbuan itu, dua anak buah Basri yang menjadi petugas security di diskotik tersebut tewas dan belasan terluka.
Polisi bertindak cepat, beberapa pelaku pembunuhan ditangkap dan ditahan. Kasusnya disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Namun pada 8 Juni di tahun yang sama saat sidang mendengarkan saksi-saksi yang dihadiri puluhan anggota kelompok Basri dan Jhon Kei meletus bentrokan. Seorang anggota Jhon Kei yang bernama Walterus Refra Kei alias Semmy Kei terbunuh di ruang pengadilan PN Jakbar. Korban yang terbunuh itu justru kakak kandung Jhon Key, hal ini menjadi salah satu faktor pembunuhan terhadap Basri, selain persaingan bisnis juga ditunggangi dendam pribadi.

Pada Juni 2007 aparat Polsek Tebet Jaksel juga pernah meminta keterangan Jhon Key menyusul bentrokan yang terjadi di depan kantor DPD PDI Perjuangan Jalan Tebet Raya No.46 Jaksel. Kabarnya bentrokan itu terkait penagihan utang yang dilakukan kelompok Jhon Key terhadap salah seorang kader PDI Perjuangan di kantor itu. Bukan itu saja, di tahun yang sama kelompok ini juga pernah mengamuk di depan Diskotik Hailai Jakut hingga memecahkan kaca-kaca di sana tanpa sebab yang jelas.
Sebuah sumber dari seseorang yang pernah berkecimpung di kalangan jasa penagihan utang menyebutkan, Jhon Kei dan kelompoknya meminta komisi 10 persen sampai 80 persen. Persentase dilihat dari besaran tagihan dan lama waktu penunggakan. “Tapi setiap kelompok biasanya mengambil komisi dari kedua hal itu,” ujar sumber tersebut.

Dijelaskannya, kalau kelompok John, Sangaji atau Hercules yang merupakan 3 Besar Debt Collector Ibukota biasanya baru melayani tagihan di atas Rp 500 juta. Menurutnya, jauh sebelum muncul dan merajalelanya ketiga kelompok itu, jasa penagihan utang terbesar dan paling disegani adalah kelompok pimpinan mantan gembong perampok Johny Sembiring, kelompoknya bubar saat Johny Sembiring dibunuh sekelompok orang di persimpangan Matraman Jakarta Timur tahun 1996 lalu.

Kalau kelompok tiga besar itu biasa main besar dengan tagihan di atas Rp 500 juta’an, di bawah itu biasanya dialihkan ke kelompok yang lebih kecil. Persentase komisinya pun dilihat dari lamanya waktu nunggak, semakin lama utang tak terbayar maka semakin besar pula komisinya,” ungkap sumber itu lagi.Dibeberkannya, kalau utang yang ditagih itu masih di bawah satu tahun maka komisinya paling banter 20 persen. Tapi kalau utang yang ditagih sudah mencapai 10 tahun tak terbayar maka komisinya dapat mencapai 80 persen.

Bahkan menurut sumber tersebut, kelompok penagih bisa menempatkan beberapa anggotanya secara menyamar hingga berhari-hari bahkan berminggu-minggu atau berbulan-bulan di dekat rumah orang yang ditagih. “Pokoknya perintahnya, dapatkan orang yang ditagih itu dengan cara apa pun,” ujarnya.
Saat itulah kekerasan kerap muncul ketika orang yang dicari-carinya apalagi dalam waktu yang lama didapatkannya namun orang itu tak bersedia membayar utangnya dengan berbagai dalih. “Dengan cara apa pun orang itu dipaksa membayar, kalau perlu culik anggota keluarganya dan menyita semua hartanya,” lontarnya.

Dilanjutkannya, ketika penagihan berhasil walaupun dengan cara diecer alias dicicil, maka saat itu juga komisi diperoleh kelompok penagih. “Misalnya total tagihan Rp 1 miliar dengan perjanjian komisi 50 persen, tapi dalam pertemuan pertama si tertagih baru dapat membayar Rp 100 juta, maka kelompok penagih langsung mengambil komisinya Rp 50 juta dan sisanya baru diserahkan kepada pemberi kuasa. Begitu seterusnya sampai lunas. Akhirnya walaupun si tertagih tak dapat melunasi maka kelompok penagih sudah memperoleh komisinya dari pembayaran-pembayaran sebelumnya,”

Dalam ‘dunia persilatan’ Ibukota, khususnya dalam bisnis debt collector ini, kekerasan kerap muncul diantara sesama kelompok penagih utang. Ia mencontohkan pernah terjadi bentrokan berdarah di kawasan Jalan Kemang IV Jaksel pada pertengahan Mei 2002 silam, dimana kelompok Basri Sangaji saat itu sedang menagih seorang pengusaha di rumahnya di kawasan Kemang itu, mendadak sang pengusaha itu menghubungi Hercules yang biasa ‘dipakainya’ untuk menagih utang pula.
“Hercules sempat ditembak beberapa kali, tapi dia hanya luka-luka saja dan bibirnya terluka karena terserempet peluru. Dia sempat menjalani perawatan cukup lama di sebuah rumah sakit di kawasan Kebon Jeruk Jakbar. Beberapa anak buah Hercules juga terluka, tapi dari kelompok Basri seorang anak buahnya terbunuh dan beberapa juga terluka,” tutupnya.

Selain jasa penagihan utang, kelompok Jhon Kei juga bergerak di bidang jasa pengawalan lahan dan tempat. Kelompok Jhon Kei semakin mendapatkan banyak ‘klien’ tatkala Basri Sangaji tewas terbunuh dan anggota keloompoknya tercerai berai. Padahal Basri Sangaji bersama kelompoknya memiliki nama besar pula dimana Basri CS pernah dipercaya terpidana kasus pembobol Bank BNI, Adrian Waworunto untuk menarik aset-asetnya. Tersiar kabar, Jamal Sangaji yang masih adik sepupu Basri yang jari-jari tangannya tertebas senjata tajam dalam peristiwa pembunuhan Basri menggantikan posisi Basri sebagai pimpinan dengan dibantu adiknya Ongen Sangaji.

Kelompok Jhon Kei pernah mendapat ‘order’ untuk menjaga lahan kosong di kawasan perumahan Permata Buana, Kembangan Jakarta Barat. Namun dalam menjalankan ‘tugas’ kelompok ini pernah mendapat serbuan dari kelompok Pendekar Banten yang merupakan bagian dari Persatuan Pendekar Persilatan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI),bukan Organisasi Masyarakat Banten  BPPKB(Badan pembinaan Potensi Keluargabesar Banten) yg berkantor Pusat di Jakartata.

Sekedar diketahui, markas dan wilayah kerja mereka sebetulnya di Serang dan areal Provinsi Banten. Kepergian ratusan pendekar Banten itu ke Jakarta untuk menyerbu kelompok Jhon Kei pada 29 Mei 2005 ternyata di luar pengetahuan induk organisasinya. Kelompok penyerbu itu pun belum mengenal seluk-beluk Ibukota.
Akibatnya, seorang anggota Pendekar Banten bernama Jauhari tewas terbunuh dalam bentrokan itu. Selain itu sembilan anggota Pendekar Banten terluka dan 13 mobil dirusak. 3 SSK Brimob PMJ dibantu aparat Polres Jakarta Barat berhasil mengusir kedua kelompok yang bertikai dari areal lahan seluas 5.500 meter persegi di Perum Permata Buana Blok L/4, Kembangan Utara Jakbar. Namun buntut dari kasus ini, Jhon Kei hanya dimintakan keterangannya saja.

Sebuah sumber dari kalangan ini mengatakan kelompok penjaga lahan seperti kelompok Jhon Kei biasanya menempatkan anggotanya di lahan yang dipersengketakan. Besarnya honor disesuaikan dengan luasnya lahan, siapa pemiliknya, dan siapa lawan yang akan dihadapinya
“Semakin kuat lawan itu, semakin besar pula biaya pengamanannya. Kisaran nominal upahnya, bisa mencapai milyaran rupiah. Perjanjian honor atau upah dibuat antara pemilik lahan atau pihak yang mengklaim lahan itu milikya dengan pihak pengaman. Perjanjian itu bisa termasuk ongkos operasi sehari-hari bisa juga diluarnya, misalnya untuk sebuah lahan sengketa diperlukan 50 orang penjaga maka untuk logistik diperlukan Rp 100 ribu per orang per hari, maka harus disediakan Rp 5 juta/hari atau langsung Rp 150 juta untuk sebulan.
Selain pengamanan lahan sengketa, ada pula pengamanan asset yang diincar pihak lain maupun menjaga lokasi hiburan malam dari ancaman pengunjung yang membikin onar maupun ancaman pemerasan dengan dalih ‘jasa pengamanan’ oleh kelompok lain, walau begitu tapi tetap saja mekanisme kerja dan pembayarannya sama dengan pengamanan lahan sengketa.

Jika Copas, Saya Harap sobat tidak menghilangkan Link ini » Sumber : http://m-wali.blogspot.com/2012/02/profil-dan-biografi-lengkap-john-kei.html#ixzz1mzEnxNMf